Sabtu, 24 Januari 2009

islam, kebebasan sipil, dan HAM

ISLAM, KEBEBASAN SIPIL
DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Oleh: Acu Nurhidayat
Mahaiswa Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


A. Pendahuluan
Pembicaraan mengenai Islam, kebebasan sipil dan HAM sangat menarik untuk diperdebatkan. Fokus pembicaraannya berkutat pada apakah benar bahwa kebebasan sipil dan HAM dalam sebuah negara yang notabene Islami itu tidak ada, atau dengan kata lain apakah penerapan hukum Islam dalam sebuah negara itu akan memasung kebebasan sipil, dan bagaimana dengan kasus negara-negara Timur Tengah yang nota bene Islami tersebut juga tidak memberikan kebebasan terhadap hak-hak sipil (civil Right). Juga bagaimana dengan kasus otonomi daerah di Indonesia yang sebagaian daerah memberlakukan syariat Islam, apakah dalam prakteknya ada kebebasan sipil (civil right). kalaupun memang benar bahwa sebagian negara Islam atau negara yang mayoritas Muslim itu kurang memberikan kebebasan sipil dan memasung HAM, apakah praktek-praktek tersebut mendapatkan legitimasi dari doktrin agama? Dan apakah hukum-hukum dalam Isam itu bertendensi terhadap pemasungan kebebasan sipil dan HAM ?
Untuk menjawab semua permasalahan di atas, pada kesempatan ini, saya sedikit akan uraikan terlebih dahulu terkait dengan Islam, kebebasan sipil dan HAM. Kemudian saya paparkan bagaimana hubungan antara demokrasi, Kebasan Sipil dan HAM itu, dilanjutkan dengan bahasan berikutnya bagaimana kebebeasan sipil dan HAM dalam perspektif Islam.

B. Demokrasi, Kebebeasan Sipil dan HAM
Demokrasi saat ini merupakan kata yang senantiasa mengisi perbincangan berbagai lapisan masyarakat mulai dari lapisan bawah sampai masyarakat kelas elit seperti kalangan elit politik, birokrat pemerintahan, tokoh masyarakat, aktivis LSM, cendikiawan, mahasiswa dan yang lainnya. Seperti diakui oleh Mahfud MD, bahwa ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai dasar bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah mejadikan demokrasi sebagai azas yang fundamental; Kedua, demokrasi sebagai azas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negera sebagai organisasi tertinggi
Senada dengan Moh.Mahfud MD, Masykur Amin dan Muhammad Najib mengatakan, bahwa demokrasi dijadikan pilihan oleh banyak orang setelah perang dunia II didasari oleh tiga asusmsi pemikiran. Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk final dan terbaik bagi sistem pemerintahan, melainkan juga sebagai doktrin politik luhur yag akan memberikan manfaat bagi kebayakan negara; Kedua, demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan dianggap mempuyai akar sejarah yag panjang yaitu sejak zaman Yunani Kuno, sehingga ia tahan bantingan zaman dan dapat menjamin terselenggaranya suatu lingkungan politik yang stabil; Ketiga, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling alamiyah dan manusiawi, sehingga semua rakyat dan negara mana pun akan memilih demokrasi bila mereka diberi kebebasan untuk menentukan pilihanya.
Salah satu agenda yang di perjuangkan dalam sistem demokrasi yaitu tentang kebebasan sipil dan Hak Azasi Manusia (HAM). Setiap negara yang menerapkan sistem demokrasi pasti memperjuanangkan kebebasan tersebut. Kebebasan sipil dalm sistem demokrasi mempunyai arti bahwa masyarakat sipil (Civil Society) mempunyai kebebasan dalam menentukan dan ikut serta dalam membanguan negara. Fenomena bangakitnya gerakan Civil Society dipicu oleh peristiwa politik Eropa Timur dan Tengah pada akhir dasawarsa 80-an, berupa tumbangnya rezim-rezim totaliter komunis yang dinilai sebagai simbol keberhasilan eksperimen gerakan Civil Soceity. Selain itu, kelompok-kelompok pro demokrasi di berbagai kawasan, mulai Amerika Latin, Asia, Afrika, dan umumnya dunia ketiga, dewasa ini telah memilih tema penguatan Civil Society sebagai strategi demokratisasi
Agenda demokrasi berikutnya juga memperjuangkan tentang HAM. HAM adalah hak yang dimliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak-hak ini dimiliki manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama atau kelamin, karenanya bersifat azasi dan universal.
Macam-macam Hak Azasi Manusia tersebut menyangkut 1) Hak Hidup. 2) hak untuk hidup tanpa ada persaan takut dilukai atau dibunuh oleh orang lain. 3) hak kebebasan. 4) hak untuk bebas. 5) hak untuk memiih sesuatu, seperti pakaian , rumah, mobil, perusahaan, pabrik, dan sebagainya.
Sedangkan menurut deklarasi HAM PBB secara singkat dijelaskan seperangkan hak-hak dasar manusia yang sangat sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, tidak menjadi budak, tidak disiksa, dan tidak ditahan, dipersamakan dimuka hukum (equality before the law), mendapat praduga tidak bersalah dan sebagainya

C. Kebebasan Sipil Dalam Perspektif Islam
Kebebasan sipil dalam Islam sebenarnya mendapatkan legitimasi dari al-Quran. al-Quran mengakui kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi. Kebebasan beragama, bahkan ateisme sekalipun dilindungi dalam Islam selama tidak mengganggu ketentraman umum, seperti terlihat dalam al-Quran Q.S al- Kahfi:29, Q.S al-Baqarah :256, Q.S al-Kafirun :1-6 dan surat Yunus: 99). Sedangkan kebebasan berekspresi seperti mengkritik penguasa sejalan dengan prinsip amar ma’ruf nahyi munkar (Q.S Ali Imaran:104)
Lantas bagaiamana dengan negara-negara Islam atau negara-negera yang mayoritas Muslim yang diidentikkan dengan kurang memberika kebebasan sipil (kurang demokratis), dan beberapa pengamat menyebutkan bahwa sebagian negara Islam adalah kurang demokratis, sehingga kurang memberikan kebebasan terhadap kebebasan sipil. Dalam hal ini Bawono Kumoro menyimpulkan bahwa setidaknya Ada beberapa faktor yang menyebabkan absennya demokrasi di dunia Islam khusunya pada negara-negara Timur Tengah. Pertama, masih kuatnya paradigma berpikir yang monolitis terhadap Islam. Paradigma berpikir seperti ini berawal dari pemahaman sebagain umat Islam yang hanya terbatas pada sifat dan esensi Islam, baik dalam tataran ide (al-Quran dan Hadits Nabi saw) atau pun juga dalam tataran historis (pengalaman kesejarahan umat Islam). Islam dipandang sebagai instrumen ilahiyah guna memahami dunia. Pandangan seperti ini telah mendorong sebagian umat Islam untuk meyakini dan percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang total (kaffah).
Cara pandang seperti di atas jika ditransformasikan pada tataran ide dan praksis politik maka akan muncul sebuah keyakinan bahwa Islam harus menjadi dasar negara, syariat harus diterima sebagi konstitusi negara, kedaulata politik ada di tangan Tuhan.
Kedua, absennya demokrasi di dunia Islam dewasa ini juga dapat dijelaskan oleh rendahnya kemauan politik (political will) dari rezim-rezim yang berkuasa di dunia Islam guna mengakomodasi demokrasi sebagai sebuah denyut nadi utama dari sistem politik di negaranya masing-masing. Mayorotas penguasa di dunia Islam menjadi rezim-rezim yang sangat phobia (ketakutan) terhadap sistem demokrasi karena jika demokrasi hadir, maka tak pelak lagi akan menghadirkan gemuruh reformasi politik yang tentu saja dengan sendirinya menelanjangi segala penyimpangan yang mereka lakukan selama berkuasa. Kepentingan utamanya lebih kepada upaya-upaya melaggengkan kekuasaan dan memproteksi penyimpangan kekuasan tersebut.
Saya kira yang menyebabkan negara-negara Islam kurang demokratis, ada beberapa point yang saya sepakati seperti pernyataan di atas tadi, yakni masih adanya perasaan phobia dan juga adanya anggapan bahwa demokrasi adalah sistem yang datang dari Barat sehingga tidak selaras dengan Islam. Padahal kalau kita kontekstualisasikan sebenarnya dalam Islam juga ada yang namanya syura dan saya rasa itu selaras dengan demokrasi.

D. Hubungan Islam dan HAM
Kalau di atas tadi berbicara tentang demokrasi, untuk melanjutkan pembahasan ini, maka kelanjutan dari demokrasi adalah mengaenai Hak Azasi Manusia (HAM). Bagaimana HAM sebenarnya dalam Islam itu, atau dengan kata lain bagaimana hubungan Islam dengan HAM, apakah Islam itu mengekang kebebasan HAM? orang hanya perlu megingat bahwa di negara-negara yang disebut islami atau di wilayah-wilayah yang didominasi oleh kaum Muslim sebagain besar kekerasan paling serius terhadap Hak Azasi Manusia (HAM) sering terjadi. Kesulitan untuk menutupi kekerasan terhadap HAM yang disebutkan itu khususnya diperumit oleh penolakan pemimpin-pemimpin negara tersebut untuk mengeijinkan kelompok-kelompok indepeden untuk menyelidiki atau bahkan menguji laporan yang diberikan oleh pers, para pengungsi diplomat dan lain-lain.
Ada dua pandangan bahwa selalu ada ambiguitas saat kita berbicara tentang kemungkinan Islam bekerjasama memperkenalkan HAM dan kemungkinan menolaknya. Bagi mereka yang melihat Islam dapat memeperkuat upaya-upaya untuk memperkenalkan HAM akan mnegajukan argumentasi pada fakta bahwa Islam sebagai agama dunia mengandung prinsip-prinsip yang sesuai dengan prinsip-prinsip deklarasi HAM. Hal ini dikarenakan Islam tidak hanya menyediakan ajaran-ajaran komprehensif dalam masalah-masalah yang berkaiatan dengan hukum agama (fiqih), dogma (tauhid), da etika (akhlaq) akan tetapi dalam masalah-masalah yang berkaiatan dengan hubungan manusia (muamalah) dan masalah keduniawaian.
Tetapi dilain pihak, bagi mereka yang skeptis terhadap kompatibilitas Islam dengan keuniversalan HAM modern akan merujuk pada kondisi nyata perlindungan HAM di beberapa negara Islam sebagai bukti bahwa sebagain bertanggung jawab atas sebagaian aksi yang melanggara HAM. Sebagai contoh banyak rezim otoriter telah memelihara kekuasaan mereka untuk watu yang lama atas nama Islam. Dalam melakukan hal ini, mereka memanfaatkan ajaran Islam untuk diri sendiri dan mengkooptasi banyak pemimpin-pemimpin agama dalam upaya melegitimasi kekuasa mereka yang represif. Sebagai akibatnya, pelarangan perbedaa pendapat secara politik dan kebebasan berbicara, pelecehan terhadap kelompok-kelompok oposisi, penangkapan dan pemenjaraan tanpa jaminan, dan tindakan lain semacamnya merupakan praktek-praktek umum dan sering terjadi dengan restu dari berbagai pemimpin agama
Dari pemaparan di atas, jadi jelas bahwa ada dua pihak terkait dengan cara pandang terhadap HAM. Pihak pertama beranggapan bahwa Islam bisa kerjasama (selaras) dengan HAM dalam arti bahwa konsep-konsep HAM juga terdapa di dalam al-Quran. Di pihak lain ada juga yang beranggapan bahwa Islam bertentangan dengan HAM dalam arti bahwa mereka melihat bukti-bukti pelanggaran HAM seperti sebagaian kekerasan terjadi di negara yang di sebut Islami tadi. Ada juga prinsip-prinsip Islam yang berlawanan atau bertentangan dengan ide HAM tersebut. Sebagai contoh, pencabangan dua yang secara tajam antara wilayah damai ( dar al-Islam) dan wilayah perang (dar al-Harb) serta antara Ummah dan apa yang dinamakan orang-orang yang dilindungi (al- Dzimmah) yang dapat memunculkan masalah serius terhadap proses pembangaunan suatu kebijakan modern yag demokratis berdasarkan kewarganegaraan (citizenship)
Jadi hemat penulis dari dua kemugkinan tadi, penulis lebih condong pada pernyataan bahwa Islam saya kira selaras dengan HAM. Sebagaimana yang di paparkan oleh Abduraahma wahid bahwa beberapa prinsip dasar dalam Islam yang sesuai dengan deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (HAM) dapat ditemukan di kitab-kitab kelasik (al-kutub al-fiqhiyah). Hal tersebut terdiri dari lima prinsip 1) perlindungan dari penindasan fisik di luar batas hukum, 2) kebebasan beragama, 3) perlindungan keluarga dan keturunan, 4) perlindungan hak milik pribadi, dan 5) perlindunga profesi seseorang. Bukti sejarah juga memperlihatkan bahwa di dalam konstitusi Islam terhadap dua deklarasi yang memuat hak-hak azasi manusia yang dikenal dengan Piagam Madiah dan Deklarasi Kairo (Cairo Declaration).

E. Demokrasi, Kebebasan Sipil dan HAM di Indonesia; Sebuah Komentar
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap Hak-hak Azasi Manusia (HAM), partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dan seterusnya.
Jika saya amati, Indonesia adalah negara Muslim yang compatibel dengan sistem demokrasi. Walaupun sebagaian dunia Islam atau Muslaim masih banyak yang absen terhadap demokrasi, saya kira pandangan demikian tidak bisa di generalisir, contohnya Islam Idonesia bisa membuktikan hal tersebut.
Satu hal yang menggemberikan adalah bahwa absennya demokrasi di negara-negara Muslim Timur Tengah tidak serta merta juga melanda negara-negara mulsim, seperti Indonesia. Secara prosedural Indonesia telah melakukan masa transisi dari rezim yang otoriter menuju rezim yang lebih demokratis meskipun belum terkonsolidasi secara baik dan stabil. Seperti halnya negara-negara lain di dunia Islam, Indonesia juga pernah mengalami masa panjang di bawah rezim otoriter dan diktator. Namun, dibandingkan dengan negara-negara Muslim di Timur Tengah, Indonesia reatif lebih berhasil dalam meruntuhkan tembok-tembok kekuasaan tiran yang telah dibangun selama lebih dari tiga dasawarsa oleh Rezim Soekarno dan Hatta.
Pemilu 1999 dan 2004 telah menjadi prasyarat awal bagi adanya gelombang demokratisasi di Indonesia. Pada pemilu tersebut masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih sesui dengan kata hatinya.. Kedua pemilu tersebut menjadi barometer bagi kebangkitan gelombang demokrasi dunia Islam, yang justru datang dari negara yang jauh dari jantung dunia Islam Timur Tengah, sebuah negara dengan populasi Muslim tersbesar di dunia.
Namun sesungguhnya perubahan yang paling mendasar dan revolusioner berlangsung pada wilayah Civil Society, khusunya Umat Islam. Umat Islam Indonesia perlahan tapi pasti tumbuh dan berkembang menjadi sebuah komunitas yang rasional, otonom dan progresif disebabkan oleh adanya kebebasan dalam ikut serta menetukan kebijakan negara dan adanya kebebasan berdemokrasi.
Seiring dengan perkembangan zaman, dan dengan dibukanya kran demokrasi dengan lebar, serta adanya kebijakan baru tentang otonomi daerah yakni memberikan kebebasan kepada masing-masing daerah untuk mengurus daerahnya masing-masing, maka timbul adanya penerapan perda syriah di beberapa daerah seperti di enama dearah yakni Kabupaten Bireun, Aceh; Kabupaten Tasik Malaya, Jawa Barat; Kabupaten Indramayu, Jawa Barat; Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan; Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat; dan Kota Madya Tanggerang, Banten. Pertanyaanya kemudian apakah dengan adanya perda-perda syariah bahwa demokratisasi di Indonesia akan mulai meredup?
Saya kira dalam Islam ada kesamaan yang selaras dengan demokrasi, jadi walaupun ada beberapa daerah yang menerapkan Syariat Islam, bukan berarati pertanda akan matinya demokrasi di Indonesai serta kebebasan sipil dan HAM tidak ada. Kenapa saya beranggapan demikian? Pertama, saya melihant bahwa Islam di Indonesai ‘berbeda’ dengan Islam di Timur Tengah dalam tataran kontekstual, akan tetapi dalam tataran fundamental normatif, Islam Timur Tengah dengan Islam Indonesia tidak ada perbedaan. Dalam tataran kontekstual artinya kedatangan Islam ke Indonesia datang secara damai sehingga memebentuk karaktek Islam yang berwajah humanis, akomodatif terhadap kebudayaan Barat, walaupun tidak bisa kita nafikan memang sekarang-sekarng ini ada juga kekerasan yang terjadi oleh kalangan Islam, tapi itu hanya sebagian kecil saja, dan tidak menjadikan mainstream Islam Indonesia, mainstream Islam Indonesia sebenarnya lebih toleran seperti dari kalangan tradisional diwakili oleh NU dan dari kalangan modernis diwakili oleh Muhammadiyah, sehingga cara interpretasi terhadap teks al-Quran pun tidak skriptualis yang akhirnya anti toleransi terhadap perbedaan. berbeda dengan Islam Timur Tengah yang diidntikkan dengan penuh kekerasan.
Kedua, banyak tokoh-tokoh yang modernis sehingga lebih akomodatif terhadap perbedaan yang ada dan banyak juga memeberikan sumbangsih pemikiran terhadap kerukunan hidup beragama. Ketiga, walaupun sebagaian darah menerapkan perda syariah, akan tetapi selama konstitusi Indonesia tetap menjungjung tinggi dasar negara kita yakni konstitusi UUD 45 dan pancasial yang megakui adanya pluralisme beragama tidak akan bisa meredupkan demokrasi, kebebasan sipil dan HAM. Walaupun memang sekilas bagi yang menerapkan perda syariah secara konstitusi terkesan dilematis dengan peraturan-peraturan negara nasional yang berasaskan pancasila dan UUD’45. Tapi penulis beranggapan tidak demikian, walaupun perda syariah diterapkan, kebebasan sipil, demokrasi dan HAM selama tetap menjungjung tinggi UU Nasional Indonesia, tidak akan ada persoalan.
Jika menengok kebelakan, kita lihat sejarah, dalam sebuah negara Islam pun kebebasan sipil dan HAM tetap dilindungi seperti halnya pemerintahan yang dijalankan oleh Rasulullah di Madinah. Saya kira demokratisasi serta kebeabsan sipil dan HAM di Indonesia tidak akan redup, tidak seperti yang dilaoprkan oleh CSRC yang melakukan penelitian di enam daerah. Tersebut di atas.
Menurut saya terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa penerapan perda syariah mengekang kebebasan sipil, tidak memebrikan solusi kesejahteraan terhadap rakyat. Saya tidak sependapat dengan mereka, menurut saya, dari hasil survei CSRC sendiri yang saya baca toh pada kenyataannya hampir sebagian besar masyarakat mengatakan persetujuannya tentang adanya perda syariah. hasil survei juga menunjukkan bahwa sebagian mayoritas responden muslim setuju dengan pemberlakuan perda sayariah (94,7%) bahkan penerapan perda syariah juga didukung oleh non-Muslim (46%) artinya di sini menunjukkan bahwa non Muslim yang mendukung pemberlakuaan perda syariah juga relatif tinggi.
Selanjutnya kaitannya dengan kekerasan yang sering dilakukan oleh kaum musliam akhir-akhir ini, seperti yang pernah dilakukan terhadap Jemaat Ahmadiyah, apakah ini juga pertanda dampak dari sebagain daerah yang menerapkan perda syariah dan apakah tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM. Di sini saya tegaskan bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan, kalaupun ada sebagaian umat yang merusak, saya kira itu bukan semata-mata dari doktrinal al-quaran melegitmasi perlakuakan tersebut, saya kira dalam Islam pun dianjurkan adanya hidup yag saling menghargai kebebasan dan HAM. Kekerasan ini terjadi semata-mata dipicu oleh adanya sikap Ahmadiyah yang telah menodai agama Islam yang pada akhirnya menyebabkan reaksi balik dari umat Islam.
Lantas kaitannya dengan pembubaran Amhadiyah saya kira ini bukan merupakan pelanggran HAM, justru dalam hal ini jelas sekali Ahmadiyah sendiri yang melanggar undang-undang tentang penodaan terhadap agama, karena Ahmadiayah menurut saya telah menodai Islam itu sendiri dan telah melanggar UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama (Media Indonesia, Jumat, 18 April 2008). Karena dalam Islam itu ada kesepakatan bersama ( mujma’ alaih) bahwa tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad SAW. Yang peru digarisbawahi bahwa adanya kekerasan yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh Kaum fundamentalisme Islam. Secara historis jika kita tengok ke belakang, dalam kalangan non-Islam pun kekerasan juga sering terjadi.

F. Penutup
Dari elaborasi di atas dapat saya simpulkan bahwa Islam, dan Demokrasi adalah kompatibel, begitu juga Islam sangat menjungjung tinggi kebebasan sipil dan Hak Azasi Manusia (HAM) seperti dapat dilihat pada sejarah awal Islam. Sebelum Islam masuk bayak sekali pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi seperti pembunuhan terhadap bayi perempuan dan kurang memperhatikan wanita, maka disitulah Islam tampil membela HAM begitu juga dalam al-Quaran banyak sekali ayat-ayat yang menganjurkan kebebasan terhadap HAM.
Kaitanya dengan minimnya demokrasi di negara-negara Islam atau di negara-negara yang mayoritas Muslim, saya kira ada beberapa persoalan. Pertama, sebagaian negara Islam/Muslim masih phobia terhadap sistem Demokrasi, mereka menganggap bahwa demokrasi bertentangan denga konsep Islam. Kedua, masih banyaknya interpretasi-interpretasi terhadap teks al-Quran yang masih skriptualis, tidak sesuai dengan konteks yang ada, padahal Islam itu berlaku untuk setiap zaman sesuai dengan konteks yang ada. Misalnya sistem demkrasi, sebenarnya dalam Islam pun ada yang namanya Syura dan itu selaras dengan sistem demkasi.
Yang harus digarisbawahi di sini, minimnya demokrasi, kebebasan sipil dan HAM di dunia Islam atau Musliam jangan diartikan bahwa itu semata-mata ada dalam doktrin Islam, banyak hal yang melatrabelakangai terhadap kasus tersebut, dan ini sifatnya kondisional bahkan politis, tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Begitu juga di dearah-daerah non-Muslim, sebelum adanya kemenangnan demokrasi pada waktu itu, Rezim Totalitarianisme komunis yang menerapkan praktek kekuasaan ala raja-raja yang sangat absolut kurang memberikan kebebasan sipil, juga banyak pelanggara-pelagaran HAM yang dilakukan.
Menyangkut perda syariah yang di terapkan di beberapa daerah, jangan dianggap keberadaannya mematikan demokrasi, kebebasan sipil dan HAM. Saya rasa selagi kita masih mengakui konstitusi UUD 45 dan pancasila, perda syariah bukan merupakan ancaman terhadap terkebirinya HAM, walaupun data survei menyebutkan ada beberapa kecendrungan diskriminatif terhadap sebagain golongan, misalkan adanya perusakan tempat-tempat Ibadah, tapi menurut saya itu tidak bisa disalahkan dari perda-nya, banyak yang tidak menerapkan perda, kekerasan banyak terjadi. Saya berharap semoga generasi penerus Islam lebih mampu lagi meginterpretasikan hukum-hukum Islam sesaui dengan konteks yang ada dan bisa memahami pluralisme, kebebasan sipil dan menjungjung tinggi HAM, sehingga bisa membuktikan kepada dunia bahwa Islam adalah Rahmatan Lil Alamin





Daftar Referensi:
Syarif Hidayatullah Jkarta, Tim Penyusun PUSLIT IAIN, Pendidikan Kewargaan, Demoktrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press,2000

Karni, Asrori S., Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif rumah Demokrasi, Jakarta: Logos: 1999

Kamil, Sukron dan Bamualim, Chaidar S.,Ed., Syariah Islam dan HAM, Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007

Kumoro, Bawono, “Tantangan Masa Depan Demokrasi Dunia Islam,“ dalam Erlangga Husada, dkk, Kajian Islam Kontemporer, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007

Hikam, Muhammad A.S, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta:Erlangga, 2000

Diakses dari http://islamlib.com/id/index.php?id=123&page=article

Media Indonesia, Jumat, 18 April 2008

2 komentar: