Sabtu, 24 Januari 2009

islam, kebebasan sipil, dan HAM

ISLAM, KEBEBASAN SIPIL
DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Oleh: Acu Nurhidayat
Mahaiswa Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


A. Pendahuluan
Pembicaraan mengenai Islam, kebebasan sipil dan HAM sangat menarik untuk diperdebatkan. Fokus pembicaraannya berkutat pada apakah benar bahwa kebebasan sipil dan HAM dalam sebuah negara yang notabene Islami itu tidak ada, atau dengan kata lain apakah penerapan hukum Islam dalam sebuah negara itu akan memasung kebebasan sipil, dan bagaimana dengan kasus negara-negara Timur Tengah yang nota bene Islami tersebut juga tidak memberikan kebebasan terhadap hak-hak sipil (civil Right). Juga bagaimana dengan kasus otonomi daerah di Indonesia yang sebagaian daerah memberlakukan syariat Islam, apakah dalam prakteknya ada kebebasan sipil (civil right). kalaupun memang benar bahwa sebagian negara Islam atau negara yang mayoritas Muslim itu kurang memberikan kebebasan sipil dan memasung HAM, apakah praktek-praktek tersebut mendapatkan legitimasi dari doktrin agama? Dan apakah hukum-hukum dalam Isam itu bertendensi terhadap pemasungan kebebasan sipil dan HAM ?
Untuk menjawab semua permasalahan di atas, pada kesempatan ini, saya sedikit akan uraikan terlebih dahulu terkait dengan Islam, kebebasan sipil dan HAM. Kemudian saya paparkan bagaimana hubungan antara demokrasi, Kebasan Sipil dan HAM itu, dilanjutkan dengan bahasan berikutnya bagaimana kebebeasan sipil dan HAM dalam perspektif Islam.

B. Demokrasi, Kebebeasan Sipil dan HAM
Demokrasi saat ini merupakan kata yang senantiasa mengisi perbincangan berbagai lapisan masyarakat mulai dari lapisan bawah sampai masyarakat kelas elit seperti kalangan elit politik, birokrat pemerintahan, tokoh masyarakat, aktivis LSM, cendikiawan, mahasiswa dan yang lainnya. Seperti diakui oleh Mahfud MD, bahwa ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai dasar bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah mejadikan demokrasi sebagai azas yang fundamental; Kedua, demokrasi sebagai azas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negera sebagai organisasi tertinggi
Senada dengan Moh.Mahfud MD, Masykur Amin dan Muhammad Najib mengatakan, bahwa demokrasi dijadikan pilihan oleh banyak orang setelah perang dunia II didasari oleh tiga asusmsi pemikiran. Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk final dan terbaik bagi sistem pemerintahan, melainkan juga sebagai doktrin politik luhur yag akan memberikan manfaat bagi kebayakan negara; Kedua, demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan dianggap mempuyai akar sejarah yag panjang yaitu sejak zaman Yunani Kuno, sehingga ia tahan bantingan zaman dan dapat menjamin terselenggaranya suatu lingkungan politik yang stabil; Ketiga, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling alamiyah dan manusiawi, sehingga semua rakyat dan negara mana pun akan memilih demokrasi bila mereka diberi kebebasan untuk menentukan pilihanya.
Salah satu agenda yang di perjuangkan dalam sistem demokrasi yaitu tentang kebebasan sipil dan Hak Azasi Manusia (HAM). Setiap negara yang menerapkan sistem demokrasi pasti memperjuanangkan kebebasan tersebut. Kebebasan sipil dalm sistem demokrasi mempunyai arti bahwa masyarakat sipil (Civil Society) mempunyai kebebasan dalam menentukan dan ikut serta dalam membanguan negara. Fenomena bangakitnya gerakan Civil Society dipicu oleh peristiwa politik Eropa Timur dan Tengah pada akhir dasawarsa 80-an, berupa tumbangnya rezim-rezim totaliter komunis yang dinilai sebagai simbol keberhasilan eksperimen gerakan Civil Soceity. Selain itu, kelompok-kelompok pro demokrasi di berbagai kawasan, mulai Amerika Latin, Asia, Afrika, dan umumnya dunia ketiga, dewasa ini telah memilih tema penguatan Civil Society sebagai strategi demokratisasi
Agenda demokrasi berikutnya juga memperjuangkan tentang HAM. HAM adalah hak yang dimliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak-hak ini dimiliki manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama atau kelamin, karenanya bersifat azasi dan universal.
Macam-macam Hak Azasi Manusia tersebut menyangkut 1) Hak Hidup. 2) hak untuk hidup tanpa ada persaan takut dilukai atau dibunuh oleh orang lain. 3) hak kebebasan. 4) hak untuk bebas. 5) hak untuk memiih sesuatu, seperti pakaian , rumah, mobil, perusahaan, pabrik, dan sebagainya.
Sedangkan menurut deklarasi HAM PBB secara singkat dijelaskan seperangkan hak-hak dasar manusia yang sangat sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, tidak menjadi budak, tidak disiksa, dan tidak ditahan, dipersamakan dimuka hukum (equality before the law), mendapat praduga tidak bersalah dan sebagainya

C. Kebebasan Sipil Dalam Perspektif Islam
Kebebasan sipil dalam Islam sebenarnya mendapatkan legitimasi dari al-Quran. al-Quran mengakui kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi. Kebebasan beragama, bahkan ateisme sekalipun dilindungi dalam Islam selama tidak mengganggu ketentraman umum, seperti terlihat dalam al-Quran Q.S al- Kahfi:29, Q.S al-Baqarah :256, Q.S al-Kafirun :1-6 dan surat Yunus: 99). Sedangkan kebebasan berekspresi seperti mengkritik penguasa sejalan dengan prinsip amar ma’ruf nahyi munkar (Q.S Ali Imaran:104)
Lantas bagaiamana dengan negara-negara Islam atau negara-negera yang mayoritas Muslim yang diidentikkan dengan kurang memberika kebebasan sipil (kurang demokratis), dan beberapa pengamat menyebutkan bahwa sebagian negara Islam adalah kurang demokratis, sehingga kurang memberikan kebebasan terhadap kebebasan sipil. Dalam hal ini Bawono Kumoro menyimpulkan bahwa setidaknya Ada beberapa faktor yang menyebabkan absennya demokrasi di dunia Islam khusunya pada negara-negara Timur Tengah. Pertama, masih kuatnya paradigma berpikir yang monolitis terhadap Islam. Paradigma berpikir seperti ini berawal dari pemahaman sebagain umat Islam yang hanya terbatas pada sifat dan esensi Islam, baik dalam tataran ide (al-Quran dan Hadits Nabi saw) atau pun juga dalam tataran historis (pengalaman kesejarahan umat Islam). Islam dipandang sebagai instrumen ilahiyah guna memahami dunia. Pandangan seperti ini telah mendorong sebagian umat Islam untuk meyakini dan percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang total (kaffah).
Cara pandang seperti di atas jika ditransformasikan pada tataran ide dan praksis politik maka akan muncul sebuah keyakinan bahwa Islam harus menjadi dasar negara, syariat harus diterima sebagi konstitusi negara, kedaulata politik ada di tangan Tuhan.
Kedua, absennya demokrasi di dunia Islam dewasa ini juga dapat dijelaskan oleh rendahnya kemauan politik (political will) dari rezim-rezim yang berkuasa di dunia Islam guna mengakomodasi demokrasi sebagai sebuah denyut nadi utama dari sistem politik di negaranya masing-masing. Mayorotas penguasa di dunia Islam menjadi rezim-rezim yang sangat phobia (ketakutan) terhadap sistem demokrasi karena jika demokrasi hadir, maka tak pelak lagi akan menghadirkan gemuruh reformasi politik yang tentu saja dengan sendirinya menelanjangi segala penyimpangan yang mereka lakukan selama berkuasa. Kepentingan utamanya lebih kepada upaya-upaya melaggengkan kekuasaan dan memproteksi penyimpangan kekuasan tersebut.
Saya kira yang menyebabkan negara-negara Islam kurang demokratis, ada beberapa point yang saya sepakati seperti pernyataan di atas tadi, yakni masih adanya perasaan phobia dan juga adanya anggapan bahwa demokrasi adalah sistem yang datang dari Barat sehingga tidak selaras dengan Islam. Padahal kalau kita kontekstualisasikan sebenarnya dalam Islam juga ada yang namanya syura dan saya rasa itu selaras dengan demokrasi.

D. Hubungan Islam dan HAM
Kalau di atas tadi berbicara tentang demokrasi, untuk melanjutkan pembahasan ini, maka kelanjutan dari demokrasi adalah mengaenai Hak Azasi Manusia (HAM). Bagaimana HAM sebenarnya dalam Islam itu, atau dengan kata lain bagaimana hubungan Islam dengan HAM, apakah Islam itu mengekang kebebasan HAM? orang hanya perlu megingat bahwa di negara-negara yang disebut islami atau di wilayah-wilayah yang didominasi oleh kaum Muslim sebagain besar kekerasan paling serius terhadap Hak Azasi Manusia (HAM) sering terjadi. Kesulitan untuk menutupi kekerasan terhadap HAM yang disebutkan itu khususnya diperumit oleh penolakan pemimpin-pemimpin negara tersebut untuk mengeijinkan kelompok-kelompok indepeden untuk menyelidiki atau bahkan menguji laporan yang diberikan oleh pers, para pengungsi diplomat dan lain-lain.
Ada dua pandangan bahwa selalu ada ambiguitas saat kita berbicara tentang kemungkinan Islam bekerjasama memperkenalkan HAM dan kemungkinan menolaknya. Bagi mereka yang melihat Islam dapat memeperkuat upaya-upaya untuk memperkenalkan HAM akan mnegajukan argumentasi pada fakta bahwa Islam sebagai agama dunia mengandung prinsip-prinsip yang sesuai dengan prinsip-prinsip deklarasi HAM. Hal ini dikarenakan Islam tidak hanya menyediakan ajaran-ajaran komprehensif dalam masalah-masalah yang berkaiatan dengan hukum agama (fiqih), dogma (tauhid), da etika (akhlaq) akan tetapi dalam masalah-masalah yang berkaiatan dengan hubungan manusia (muamalah) dan masalah keduniawaian.
Tetapi dilain pihak, bagi mereka yang skeptis terhadap kompatibilitas Islam dengan keuniversalan HAM modern akan merujuk pada kondisi nyata perlindungan HAM di beberapa negara Islam sebagai bukti bahwa sebagain bertanggung jawab atas sebagaian aksi yang melanggara HAM. Sebagai contoh banyak rezim otoriter telah memelihara kekuasaan mereka untuk watu yang lama atas nama Islam. Dalam melakukan hal ini, mereka memanfaatkan ajaran Islam untuk diri sendiri dan mengkooptasi banyak pemimpin-pemimpin agama dalam upaya melegitimasi kekuasa mereka yang represif. Sebagai akibatnya, pelarangan perbedaa pendapat secara politik dan kebebasan berbicara, pelecehan terhadap kelompok-kelompok oposisi, penangkapan dan pemenjaraan tanpa jaminan, dan tindakan lain semacamnya merupakan praktek-praktek umum dan sering terjadi dengan restu dari berbagai pemimpin agama
Dari pemaparan di atas, jadi jelas bahwa ada dua pihak terkait dengan cara pandang terhadap HAM. Pihak pertama beranggapan bahwa Islam bisa kerjasama (selaras) dengan HAM dalam arti bahwa konsep-konsep HAM juga terdapa di dalam al-Quran. Di pihak lain ada juga yang beranggapan bahwa Islam bertentangan dengan HAM dalam arti bahwa mereka melihat bukti-bukti pelanggaran HAM seperti sebagaian kekerasan terjadi di negara yang di sebut Islami tadi. Ada juga prinsip-prinsip Islam yang berlawanan atau bertentangan dengan ide HAM tersebut. Sebagai contoh, pencabangan dua yang secara tajam antara wilayah damai ( dar al-Islam) dan wilayah perang (dar al-Harb) serta antara Ummah dan apa yang dinamakan orang-orang yang dilindungi (al- Dzimmah) yang dapat memunculkan masalah serius terhadap proses pembangaunan suatu kebijakan modern yag demokratis berdasarkan kewarganegaraan (citizenship)
Jadi hemat penulis dari dua kemugkinan tadi, penulis lebih condong pada pernyataan bahwa Islam saya kira selaras dengan HAM. Sebagaimana yang di paparkan oleh Abduraahma wahid bahwa beberapa prinsip dasar dalam Islam yang sesuai dengan deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (HAM) dapat ditemukan di kitab-kitab kelasik (al-kutub al-fiqhiyah). Hal tersebut terdiri dari lima prinsip 1) perlindungan dari penindasan fisik di luar batas hukum, 2) kebebasan beragama, 3) perlindungan keluarga dan keturunan, 4) perlindungan hak milik pribadi, dan 5) perlindunga profesi seseorang. Bukti sejarah juga memperlihatkan bahwa di dalam konstitusi Islam terhadap dua deklarasi yang memuat hak-hak azasi manusia yang dikenal dengan Piagam Madiah dan Deklarasi Kairo (Cairo Declaration).

E. Demokrasi, Kebebasan Sipil dan HAM di Indonesia; Sebuah Komentar
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap Hak-hak Azasi Manusia (HAM), partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dan seterusnya.
Jika saya amati, Indonesia adalah negara Muslim yang compatibel dengan sistem demokrasi. Walaupun sebagaian dunia Islam atau Muslaim masih banyak yang absen terhadap demokrasi, saya kira pandangan demikian tidak bisa di generalisir, contohnya Islam Idonesia bisa membuktikan hal tersebut.
Satu hal yang menggemberikan adalah bahwa absennya demokrasi di negara-negara Muslim Timur Tengah tidak serta merta juga melanda negara-negara mulsim, seperti Indonesia. Secara prosedural Indonesia telah melakukan masa transisi dari rezim yang otoriter menuju rezim yang lebih demokratis meskipun belum terkonsolidasi secara baik dan stabil. Seperti halnya negara-negara lain di dunia Islam, Indonesia juga pernah mengalami masa panjang di bawah rezim otoriter dan diktator. Namun, dibandingkan dengan negara-negara Muslim di Timur Tengah, Indonesia reatif lebih berhasil dalam meruntuhkan tembok-tembok kekuasaan tiran yang telah dibangun selama lebih dari tiga dasawarsa oleh Rezim Soekarno dan Hatta.
Pemilu 1999 dan 2004 telah menjadi prasyarat awal bagi adanya gelombang demokratisasi di Indonesia. Pada pemilu tersebut masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih sesui dengan kata hatinya.. Kedua pemilu tersebut menjadi barometer bagi kebangkitan gelombang demokrasi dunia Islam, yang justru datang dari negara yang jauh dari jantung dunia Islam Timur Tengah, sebuah negara dengan populasi Muslim tersbesar di dunia.
Namun sesungguhnya perubahan yang paling mendasar dan revolusioner berlangsung pada wilayah Civil Society, khusunya Umat Islam. Umat Islam Indonesia perlahan tapi pasti tumbuh dan berkembang menjadi sebuah komunitas yang rasional, otonom dan progresif disebabkan oleh adanya kebebasan dalam ikut serta menetukan kebijakan negara dan adanya kebebasan berdemokrasi.
Seiring dengan perkembangan zaman, dan dengan dibukanya kran demokrasi dengan lebar, serta adanya kebijakan baru tentang otonomi daerah yakni memberikan kebebasan kepada masing-masing daerah untuk mengurus daerahnya masing-masing, maka timbul adanya penerapan perda syriah di beberapa daerah seperti di enama dearah yakni Kabupaten Bireun, Aceh; Kabupaten Tasik Malaya, Jawa Barat; Kabupaten Indramayu, Jawa Barat; Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan; Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat; dan Kota Madya Tanggerang, Banten. Pertanyaanya kemudian apakah dengan adanya perda-perda syariah bahwa demokratisasi di Indonesia akan mulai meredup?
Saya kira dalam Islam ada kesamaan yang selaras dengan demokrasi, jadi walaupun ada beberapa daerah yang menerapkan Syariat Islam, bukan berarati pertanda akan matinya demokrasi di Indonesai serta kebebasan sipil dan HAM tidak ada. Kenapa saya beranggapan demikian? Pertama, saya melihant bahwa Islam di Indonesai ‘berbeda’ dengan Islam di Timur Tengah dalam tataran kontekstual, akan tetapi dalam tataran fundamental normatif, Islam Timur Tengah dengan Islam Indonesia tidak ada perbedaan. Dalam tataran kontekstual artinya kedatangan Islam ke Indonesia datang secara damai sehingga memebentuk karaktek Islam yang berwajah humanis, akomodatif terhadap kebudayaan Barat, walaupun tidak bisa kita nafikan memang sekarang-sekarng ini ada juga kekerasan yang terjadi oleh kalangan Islam, tapi itu hanya sebagian kecil saja, dan tidak menjadikan mainstream Islam Indonesia, mainstream Islam Indonesia sebenarnya lebih toleran seperti dari kalangan tradisional diwakili oleh NU dan dari kalangan modernis diwakili oleh Muhammadiyah, sehingga cara interpretasi terhadap teks al-Quran pun tidak skriptualis yang akhirnya anti toleransi terhadap perbedaan. berbeda dengan Islam Timur Tengah yang diidntikkan dengan penuh kekerasan.
Kedua, banyak tokoh-tokoh yang modernis sehingga lebih akomodatif terhadap perbedaan yang ada dan banyak juga memeberikan sumbangsih pemikiran terhadap kerukunan hidup beragama. Ketiga, walaupun sebagaian darah menerapkan perda syariah, akan tetapi selama konstitusi Indonesia tetap menjungjung tinggi dasar negara kita yakni konstitusi UUD 45 dan pancasial yang megakui adanya pluralisme beragama tidak akan bisa meredupkan demokrasi, kebebasan sipil dan HAM. Walaupun memang sekilas bagi yang menerapkan perda syariah secara konstitusi terkesan dilematis dengan peraturan-peraturan negara nasional yang berasaskan pancasila dan UUD’45. Tapi penulis beranggapan tidak demikian, walaupun perda syariah diterapkan, kebebasan sipil, demokrasi dan HAM selama tetap menjungjung tinggi UU Nasional Indonesia, tidak akan ada persoalan.
Jika menengok kebelakan, kita lihat sejarah, dalam sebuah negara Islam pun kebebasan sipil dan HAM tetap dilindungi seperti halnya pemerintahan yang dijalankan oleh Rasulullah di Madinah. Saya kira demokratisasi serta kebeabsan sipil dan HAM di Indonesia tidak akan redup, tidak seperti yang dilaoprkan oleh CSRC yang melakukan penelitian di enam daerah. Tersebut di atas.
Menurut saya terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa penerapan perda syariah mengekang kebebasan sipil, tidak memebrikan solusi kesejahteraan terhadap rakyat. Saya tidak sependapat dengan mereka, menurut saya, dari hasil survei CSRC sendiri yang saya baca toh pada kenyataannya hampir sebagian besar masyarakat mengatakan persetujuannya tentang adanya perda syariah. hasil survei juga menunjukkan bahwa sebagian mayoritas responden muslim setuju dengan pemberlakuan perda sayariah (94,7%) bahkan penerapan perda syariah juga didukung oleh non-Muslim (46%) artinya di sini menunjukkan bahwa non Muslim yang mendukung pemberlakuaan perda syariah juga relatif tinggi.
Selanjutnya kaitannya dengan kekerasan yang sering dilakukan oleh kaum musliam akhir-akhir ini, seperti yang pernah dilakukan terhadap Jemaat Ahmadiyah, apakah ini juga pertanda dampak dari sebagain daerah yang menerapkan perda syariah dan apakah tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM. Di sini saya tegaskan bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan, kalaupun ada sebagaian umat yang merusak, saya kira itu bukan semata-mata dari doktrinal al-quaran melegitmasi perlakuakan tersebut, saya kira dalam Islam pun dianjurkan adanya hidup yag saling menghargai kebebasan dan HAM. Kekerasan ini terjadi semata-mata dipicu oleh adanya sikap Ahmadiyah yang telah menodai agama Islam yang pada akhirnya menyebabkan reaksi balik dari umat Islam.
Lantas kaitannya dengan pembubaran Amhadiyah saya kira ini bukan merupakan pelanggran HAM, justru dalam hal ini jelas sekali Ahmadiyah sendiri yang melanggar undang-undang tentang penodaan terhadap agama, karena Ahmadiayah menurut saya telah menodai Islam itu sendiri dan telah melanggar UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama (Media Indonesia, Jumat, 18 April 2008). Karena dalam Islam itu ada kesepakatan bersama ( mujma’ alaih) bahwa tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad SAW. Yang peru digarisbawahi bahwa adanya kekerasan yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh Kaum fundamentalisme Islam. Secara historis jika kita tengok ke belakang, dalam kalangan non-Islam pun kekerasan juga sering terjadi.

F. Penutup
Dari elaborasi di atas dapat saya simpulkan bahwa Islam, dan Demokrasi adalah kompatibel, begitu juga Islam sangat menjungjung tinggi kebebasan sipil dan Hak Azasi Manusia (HAM) seperti dapat dilihat pada sejarah awal Islam. Sebelum Islam masuk bayak sekali pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi seperti pembunuhan terhadap bayi perempuan dan kurang memperhatikan wanita, maka disitulah Islam tampil membela HAM begitu juga dalam al-Quaran banyak sekali ayat-ayat yang menganjurkan kebebasan terhadap HAM.
Kaitanya dengan minimnya demokrasi di negara-negara Islam atau di negara-negara yang mayoritas Muslim, saya kira ada beberapa persoalan. Pertama, sebagaian negara Islam/Muslim masih phobia terhadap sistem Demokrasi, mereka menganggap bahwa demokrasi bertentangan denga konsep Islam. Kedua, masih banyaknya interpretasi-interpretasi terhadap teks al-Quran yang masih skriptualis, tidak sesuai dengan konteks yang ada, padahal Islam itu berlaku untuk setiap zaman sesuai dengan konteks yang ada. Misalnya sistem demkrasi, sebenarnya dalam Islam pun ada yang namanya Syura dan itu selaras dengan sistem demkasi.
Yang harus digarisbawahi di sini, minimnya demokrasi, kebebasan sipil dan HAM di dunia Islam atau Musliam jangan diartikan bahwa itu semata-mata ada dalam doktrin Islam, banyak hal yang melatrabelakangai terhadap kasus tersebut, dan ini sifatnya kondisional bahkan politis, tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Begitu juga di dearah-daerah non-Muslim, sebelum adanya kemenangnan demokrasi pada waktu itu, Rezim Totalitarianisme komunis yang menerapkan praktek kekuasaan ala raja-raja yang sangat absolut kurang memberikan kebebasan sipil, juga banyak pelanggara-pelagaran HAM yang dilakukan.
Menyangkut perda syariah yang di terapkan di beberapa daerah, jangan dianggap keberadaannya mematikan demokrasi, kebebasan sipil dan HAM. Saya rasa selagi kita masih mengakui konstitusi UUD 45 dan pancasila, perda syariah bukan merupakan ancaman terhadap terkebirinya HAM, walaupun data survei menyebutkan ada beberapa kecendrungan diskriminatif terhadap sebagain golongan, misalkan adanya perusakan tempat-tempat Ibadah, tapi menurut saya itu tidak bisa disalahkan dari perda-nya, banyak yang tidak menerapkan perda, kekerasan banyak terjadi. Saya berharap semoga generasi penerus Islam lebih mampu lagi meginterpretasikan hukum-hukum Islam sesaui dengan konteks yang ada dan bisa memahami pluralisme, kebebasan sipil dan menjungjung tinggi HAM, sehingga bisa membuktikan kepada dunia bahwa Islam adalah Rahmatan Lil Alamin





Daftar Referensi:
Syarif Hidayatullah Jkarta, Tim Penyusun PUSLIT IAIN, Pendidikan Kewargaan, Demoktrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press,2000

Karni, Asrori S., Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif rumah Demokrasi, Jakarta: Logos: 1999

Kamil, Sukron dan Bamualim, Chaidar S.,Ed., Syariah Islam dan HAM, Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007

Kumoro, Bawono, “Tantangan Masa Depan Demokrasi Dunia Islam,“ dalam Erlangga Husada, dkk, Kajian Islam Kontemporer, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007

Hikam, Muhammad A.S, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta:Erlangga, 2000

Diakses dari http://islamlib.com/id/index.php?id=123&page=article

Media Indonesia, Jumat, 18 April 2008

Kamis, 22 Januari 2009

Artikel

JEJAK KAFILAH
Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia
Oleh: Acu Nurhidayat
Mahasiswa Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Pendahuluan
Pasca tumbangnya Rezim Orde Baru, dan beralihnya sistem pemerintahan ke Era Reformasi, kekerasan terjadi bertubi-tubi. Aksi-aksi ini dimulai dengan beberapa pengeboman gereja di kata Medan, Sumatera pada Mei 2000. Tiga bulan kemudian, aksi pengeboman di Medan ini diikuti dengan aksi bom mobil di tempat hunian Duta Besar Fipina di Jakarta, yang menewaskan satu orang saksi mata. Opersai pertama dalam skala besar adalah serangkaian serangan yang terjadi secara bersamaan terhadap 38 Gereja di seluruh Indonesia pada malam natal 2000, yang menelan korban 19 orang tewas. Serangan teroris yang paling berdarah adalah aksi pengeboman dua klub malam padat pengunjung di Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 nyawa dan melukai 300 orang. Serangan selanjutnya kemudian diikuti dengan bom mobil yang diledakkan di kompleks Hotel J.W. Marriot Jakarta, 5 Agustus 2003 dengan korban 12 orang meninggal. Pengeboman selanjutnya kedutaan Australia di Jakarta pada 9 September 2004 yang menewaskan 12 orang Indonesia.
Serentetan kejadian di atas, disinyalir pelakunya adalah dari kelompok Islam garis keras yang mempunyai ideologi transnasional. Apakah kelompok Islam yang melakukan tindakan sadisme tersebut terpengaruhi oleh radikalisme dari Timur Tengah? Untuk mengetahui lebih dekat tentang hal tersebut, pada kesempatan ini, saya coba rangkum bukunya Greg Fealy dan Anthony Bubalo, Jejak Khafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia.

B. Pengaruh Dari Timur Tengah ke Indonesia
Pada masa kontemporer, khususnya pasca 11 September 2001, pandangan Barat terhadap Islam Timur Tengah dan Indonesia serta interaksi antara keduanya pun berubah tidak simpatik. Lebih dari kawasan mana pun di Dunia Islam, sekarang Timur Tengah dilihat sebagai wadah jihadisme nihilistik. Islam Indonesia masih dianggap sebagai Islam yang sangat toleran dan pluralistik. Tetapi, munculnya kelompok jihadis paramiliter dan teroris pada tahun-tahun terakhir telah melahirkan perhatian kepada radikalisasi yang dirasakan dan pengikisan karakter Islam yang pada dasarnya moderat di negeri ini. Satu alasan yang umumnya diajukan para pengamat Barat ketika mengamati kecendrungan minoritas ekstrem di Indonesia adalah pengaruh Islam Timur Tengah yang terus tumbuh. Globalisasi dan penetrasi yang meningkat akibat komunikasi massa telah memberikan kontribusi kepada proses ini, seperti halnya dukungan berlebihan Timur Tengah terhadap program-program sosial yang sifatnya radikal. Jadi, semakin Islam Indonesia dilihat sebagai Islam yang memiliki kualitas Timur Tengah, semakin besar spektrum ancaman yang ditimbulkan.
Di bab ini penulis berfokus pada tiga garis utama transmisi ide-ide tersebut: gerakan sosial, dari pelajar dan sarjana hingga jihadis Indonesia yang turut andil dalam perang Afghansitan melawan Soviet; penyebaran Islam Timu Tengah di Indonesia, khusunya peran yang dimanikan oleh Arab Saudi; dan penerbitan serta internet.

a. Gerakan-Gerakan Sosial
Secara historis, vector-vektor utama transmisi pemikiran Timur Tengah ke Asia Tenggara adalah gerakan sosial. Para pedagang dan ulama Arab bepergian ke kawasan ini selama paling tidak delapan abad, menyebarkan pengetahuan Islam dan berdakwah di kalangan non-Muslim. Dari pertengahan abad ke 19, ribuan orang-orang Arab Yaman dari Lembah Hadramaut menetap di Indonesia, memapankan diri sebagai guru, ulama, dan pedagang. Implikasi migrasi ini masih terasa hingga sekarang dalam peran yang dimainkan oleh orang-orang Indonesia keturunan Arab pada komunitas Muslim. Selama beberapa abad, orang-orang Islam Indonesia pergi ke Timur Tengah sebagai haji, pejabat, pedagang, pelajar, dan ulama.
Dalam hal gerakan sosial, pelajar atau mahasiswa barangkali menjadi saluran kontemporer yang paling penting bagi ide-ide Islamis dari Timur Tengah ke Indonesia. Mereka pergi ke Timur Tengah, khusunya ke Mesir dan Arab Saudi, dalam jumlah besar, guna belajar kepada ulama terkemuka dan meleburkan diri mereka dalam kebudayaan Islam yang autentik.
Seorang mahasiswa Indonesia di lembaga pendidikan Islam paling prestisius, Universitas Al-Azhar Kairo, menegaskan bahwa mahasiswa Indonesia di Mesir sering berkunjung ke lingkaran Ikhwanul Muslimin. Orang Indonesia lain yang diwawancara menyatakan, Yusuf Al-Qardawi dipopulerkan di Indonesia oleh mahasiswa yang menyaksikan siarannya dan membaca buku-bukunya ketika belajar di Timur Tengah.
Arab Saudi, yang merupakan lokasi dua tempat suci Islam, adalah tujuan penting yang lain bagai mahasiswa Indonesia. Mahasiswa Indonesia belajar di Universitas Islam di Madinah, Univ Umm Al-Qura di Makkah dan Univ Al-Imam Muhammad bin Saud di Riadh. Satu sumber terpercaya menyetakan, baru-baru ini pemerintah Saudi menyediakan sekitar 170 beasiswa penuh. Lebih lanjut, disamping bantuan pemerintah Arab Saudi, organisasi Islam seperti Rabithah ‘Alam Islami dan dermawan lain yang lebih kecil menyediakan beasiswa tambahan.
Saluran utama ide-ide jihadis adalah perang di Afghanistan pada 1980-an. Kami telah membeberkan peran yang dimainkan oleh veteran perang Afghanistan dalam kekerasan militan dan terorisme di Aljazair dan Mesir, dan dalam pembentukkan Al-Qaeda. Lebih dari 300 orang Indonesia (mungkin sebanyak 600) juga pernah mengikuti latihan militer di kamp-kamp Mujahidin asing dari permulaan 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Sebab-sebab mereka berjihad ke sana adalah masalah yang sangat kompleks. Sebagaian merespon usaha aktif perekrutan yang dilakukan organisasi Islam, khususnya Rabithah ‘Alam Islami yang berabsis di Arab Saudi.
Jelas sekali bahwa sebagian besar orang Indonesia dikirim ke Afghanistan oleh pendiri Jamaah Islamiyah (JI) Abdullah Sungkar, yang menggunakan jaringannya dikalangan gerakan Darul Islam (DI). Sebagian besar pemimpin senior JI dan beberapa pelaksana tingkat menegah adalah veteran Afghanistan. Organisasi Indonesia lain, seperti Gerakan Pemuda Islam (GPI) juga membantu anggota dan simpatisannya pergi ke Afghanistan. Hubungan yang terbentuk antara pejuang jihadis Indonesia dan jihadis asing lainnya pada waktu itu, yang berpuncak dalam koneksi operasional antara kelompok teroris Indonesia JI dan Al-Qaeda khususnya.
Selain latihan militer, mujahidin Indonesia juga memperoleh pendidikan agama dan ideologi. Seperti yang terjadi dengan banyak kamp yang dibiayai Saudi, ada penekanan besar pada ajaran salafi, dengan kecendrungan jihadis. Pengaruh ideologi lain pun ada; tokoh Ihwanul Muslimin seperti Abdullah Azzam sangat terkenal dikalangan organisasi-organisasi Saudi yang mendukung jihad secara umum dilkalangan mujahidin asing.

b. Pendidikan dan Dakwah
Saluran utama yang kedua bagi ide-ide Islamis adalah pendidikan dan dakwah yang didukung oleh pemerintah dan lembaga non-pemerintah serta orang-orang dari Timur Tengah. Sejak awal perlu ditekankan bahwa dakwah lebih merupakan penyebaran pesan keagamaan (Islam) ketimbang politik Islamis. Demikian pula, dukungan untuk lembaga pendidikan Islam di Indoensia sering kali berorientasi pada penyediaan bahan pengajaran Islam klasik. Lembaga-lembaga dan beberapa orang dari beberapa Negara Timur Tengah, termasuk Mesir, Kuwait, dan Negara-negara teluk lainnya, sangat aktif bergerak dalam lapangan pendidikan dan dakwah di Indonesia.
Sejak 11 September 2001, dukungan Arab Saudi terhadap kepentingan Islam internasional di seluruh dunia menjadi sasaran penyelidikan. Fakta ini sebagaian besar merefleksiskan peran yang dimainkan oleh beberapa lembaga derma Islam berbasis Saudi—secara sengaja atau tidak sengaja—dalam mendanai terorisme. Ada juga perhatian terhadap penyebarluasan salafisme Wahabi Saudi Arabia, seperti yang lazim diketahui, promosi bentuk Islam puritan ini menyebabkan terjadinya radikalisasi komunitas muslim toleran dan moderat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Misalnya, dalam laporan terakhir Independent Task Force on Terorist Financing (satuan kerja independent dalam pendanaan teroris), yang disponsori oleh think-thank Amerika Serikat, Council on Foreign Relation ( lembaga hubunga luar negeri), diklaim bahwa dalam dukunganya terhadap madrasah, mesjid, pusat kebudayaan, rumah sakit dan lembaga lain, dan pelatihan serta pengirimana ahli agama (ulama) radikal untuk menempati pos-pos terdepan ini, Arab Saudi membelanjakan uang yang mencapai ratusan juta dolar di seluruh dunia untuk mendanai ekstremisme.
Berbagai agen resmi dan non-pemerintah Saudi, baik yang sepenuhnya atau sebagian memfokuskan pada pendidikan dan dakwah agama, termasuk sangat aktif di Indonesia. Agen-agen itu meliputi: atase agama kedutaan Arab Saudi di Jakarta; Rabithah ‘alam Islami yang nonpemerintah dan dua agen tambahannya, Interansional Islamic Relief Organisation (IIRO) dan World Assembly of Muslim Youth (WAMY); dan penyumbang-penyumbang pribadi serta lembaag amal nonpemerintah lainnya, yang cabangnya di Indonesia dituduh sebagai organisasi pendukung terorisme oleh Amerika Serikat dan PBB, dan tampaknya dibubarkan.
Barangkali lembaga utama pendididkan Islam di Indonesia yang disponsori Saudi adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), cabang Univ Al-Imam Muhammad bin Saud di Riyadh, Arab Saudi. Seluruh perkuliahan diselenggarakan dalam bahasa Arab, antara 80 hinga 90 persen dosennya berasal dari Timur Tengah dan lembaga tersebut selalu dipimpin oleh orang Saudi. Pengajar di LIPIA merefleksikan kombinasi antara kurikulum salafi dan orientasi khusus staf fakultasnya. Ulil Absar Abdalla, penggagas Jaringan Islam liberal (JIL) dan bekas mahasiswa LIPIA dari 1988 hingga 1993, menyatakan, ketika dia belajar dilembaga itu, kurikulumnya menggunakan standar Saudi yang menjadi induknya. Dia mencacat, mempelajari Ibn Taimiyah adalah “suatu Kewajiban” di LIPIA. Secara umum, dia mencirikan pengajaran di LIPIA sebagai pengajaran yang “tidak mau kompromi” dengan kultur lokal dan praktik-praktik (keagamaan) Muslim Indonesia.
Disamping LIPIA, tiga organisasi yang secara khusus menerima dukungan signifikan dari Saudi, baik dari pemerintah maupun dari nonpemerintah: dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII); Jamiat Islam al-Irsyad; dan Persatuan Islam (Persis). DDII didirikan pada 1967 oleh pemimpin Islam Masyumi yang dibubarkan, fokusnya lebih kepada dakwah ketimbang politik praktis. Oraganisasi lain yang terus menerima dukungan Saudi (setidaknya nonpemerintah) meliputi: Yayasan Islam Al-Huda, didirikan pada 1998 dan menyelenggarakan pendidikan kanak-kanak dan sekolahnya sendiri serta sekolah guru dan stasiun radio AM ( Radi Al-Iman Swaratama); Yayasan Al-Taifah Mansoura, didirikan pada 1994 oleh aktifvis salafi dari masjid kampus di Jawa Timur; Yayasan Al-Imam; Yayasan Al-Sunnah di Cirebon, Jawa Barat, yang menyelenggarakan pesantren salafi terbesar di kota itu dengan program dari taman kanak-kanak hingga sekolah menegah atas; dan Yayasan Nida Al-Fattah di Surabaya, Jawa Timur, yang menerbitkan dan menyebarkan teks-teks salafi dn juga mengurus sebuah stasiun radio (As-Salam FM).
Tindakan keras Amerika Serikat terhadap aliran uang dari lembaga-lembaga Timur Tengah ke Negara-negara seperti Indonesia sejak 11 September 2001 mengakibatkan drastisnya kemerosotan aliran dana Saudi baik untuk kelompok salafi Indonesia maupun organisasi seperti DDII. Misalnya, pembangunan kompleks sekolah dan perguruan tinggi milik DDII di Jakarta terhenti karena mandeknya dana dari Timur Tengah; gedung itu baru terealisasi 75 persen. Para pejabat Dewan Dakwah menduga, Tekanan Amerika Serikat terhadap bantuan dana semacam itu kemungkinan besar malah lebih mendorong mahasiswa memasuki lembaga-lembaga radikal ketimbang mengikis terorisme.

c. Publikasi dan Internet
Penyebaran media cetak dari Timur Tengah memiliki akar sejarah yang panjang. Media cetak tersebut tampil dalam beragam bentuk: dari buku teks dan komentar terhadap berbagai ilmu keislaman, hingga jurnal, pamflet, dan surat kabar yang menggambarkan pandangan-pandangan doktrinal dan politik yang beragam. Media ini, dalam versi asli bahasa Arab, dibaca oleh sebagian kecil umat Islam yang mampu berbahasa Arab, atau diterjemahkan ke dalam bahasa lokal seperti Melayu dan Jawa, yang karenanya dibaca oleh pembaca yang jauh lebih luas. Namun, sejak 1980-an permintaan masyarakat terhadap buku-buku keislaman meningkat tajam, dengan bukti semakin menonjolnya buku-buku tentang Islam yang dipajang di toko buku. Terjemahan tulisan dan ceramah Yusuf Al-Qaradhawi termasuk teks Islam yang paling polpuler; sebagian besar karena tulisan-tulisan itu memberikan pedoman tentang pendekatan Islam yang “benar” kepada lingkup tugas dan masalah sehari-hari yang dihadapi umat Islam di Indonesia.
Fenomena yang merupakan efek samping dari hal ini adalah ekspansi besar-besaran penerbitan Islam dengan jumlah yang semakin bertambah dari materi yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Dalam kasus karya-karya salafi dan Ikhwanul Muslimin, banyak terjemahan dilakukan oleh lulusan LIPIA. Sebagian penerbitan lahir oleh dorongan tujuan dakwah; sebagaian yang diketahui, DDII memainkan peran penting dalam penerjemahan karya-karya Sayyid Quthb dan Hasan Al-Banna ke dalam bahasa Indonesia. Jumlah penerbit yang berorientasi salafi meningkat tajam pada tahun-tahun terakhir, dan mereka lahir di pasar Islam mainstream.
Sama halnya dengan bagian lain di dunia Muslim, pada dekade-dekade terakhir, teknologi digital dan globalisasi menderaskan arus informasi dari Timur Tengah ke Indonesia. Wahana utamanya adalah internet, yang memungkinkan orang-orang Indonesia mempunyai akses yang cepat dan relatif murah untuk mendapatkan beragam materi pengetahuan dari penjuru dunia Islam. Penggunaan internet di Indonesai tergolong rendah menurut standar internasional, tetapi kelompok Islamis khususnya, terbukti sangat ahli dalam mengeksploitasi teknologi ini dan menggunakannya untuk menyebarkan informasi. Jika sejumlah kecil aktivis mempunyai akses internet, bahan-banah dapat dengan cepat diunduh (downdload) dan disebarkan melalui jaringan masjid, kelompo mahasiswa, kelas-kelasa studi al-Quaran dan semacamnya.

C. Tiga Arus Intelektual/Gerakan Yang Diidentifikasi Mempengaruhi Tradisi Indonesia
a. Ikhwanul Muslimin
Dari semua bentuk Islamisme kontemporer, pengaruh Ikhwanul Muslimin di Indonesia mungkin memiliki sejarah yang terpanjang. Meskipun segelintir intelektual Islam modernis di Indonesia mulai tertarik dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin sejak tahun 1950-an, baru pada penghujun 1970-an dan awal 1980-an, gagasan dan teknik organisasi tersebut mulai mendapat pengikut yang cukup besar.
Beberapa faktor penyebab naiknya popularitas Ikhwanul Muslimin di Indonesia, bagi kalangan muda Muslim, dekade 1970-an dan 80-an adalah periode yang menajdi saksi atas frustasi dan kekecewaan baik terhadap perlakuan Rezim Soeharto atas oraganisasi-organisasi Islam maupun perilaku para pemimpin Muslim sendiri. Secara sistematis Rezim Soeharto mengebiri Islam dalam posisinya sebagai kekuatan politik independen dan memeberikan posisi istimewa di birokrasi terhadap sebagian kecil umat Islam. Pada saat yang sama, banyak pemimpin muslim yang ditarik masuk ke dalam jaringan patronasi Orde Baru; mereka menyesuaikan diri dengan retorika sekuler sang rezim sebagai balas budi atas imbalan materiil yang mereka terima dan keterlibatan kecil mereka dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan.
Dalam konteks kekecewaan inilah, banyak kalangan muda Muslim mulai tertarik dengan model perjungan ikhwanul Muslimin yang menawarkan pendekatan baru terhadap aktivisme Islam. Ekspresi utama pemikiran Ikhwanul Muslimin adalah Gerakan Tarbiyah yang mencuat pada 1980-an ketika praktek penindasan Orde Baru terhadap Islam dan politik mahasiswa sedang gencar-gencarnya. Rezim ORBA melarang organisasi politik mahasiswa dengan sebutan “normalisasi kehidupan kampus”
Ketika Gerakan Tarbiyah mengonsolidasi diri selama kurun 1990-an, tekanan muncul dari dalam gerakan itu sendiri agar lebih aktif secara politik. Kondisi ini menemukan bentukknya pada awal 1998 ketika Orde Baru mulai rontok akibat krisis finansial di Asia. Para aktivis Tarbiyah membentuk organisasi mahasiswa bernama KAMMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indoensia) pada April 1998. menyusul lengsernya Soeharto, secara bersama-sama banyak pemimpin Tarbiyah mendirikan partai bernama Partai keadilan (PK). Karena gagal memenuhi threshold sebesar 2 persen yang dibutuhkan untuk bisa menjadi kontestan pemilu 2004, PK mengubah namanya menjadi Partai keadilan Sejahtera (PKS)
Berkenaan dengan pengaruh Ikhwanul Muslimin di Indonesia, kiranya sangat berharga untuk menyebutkan dua contoh lain, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dan Hijbut Tahrir. Al-Qaradhawi salah satu pemikir Timur Tengah kontemporer yang paling berpengaruh dalam Islam Indonesia, contoh lainnya yang mempengaruhi juga Hizbut Tahrir. Di banayak bagian kawasan Eropa, Timur Tengah, dan Asia Tengah, Hizbut Tahrir dikenal luas karena tingkat radikalismenya. Sebaliknya di Indonesia, HT yang hadir sejak 1982 menoreh catatan sebagai penggerak aktivitas intelektual dan dakwah yang damai.
b. Kelempok Salafi
Perkembangan kelompok salafi di Indonesia memiliki banyak kesamaan umum dengan kelompok-kelompok yang di ilhami Ikhwanul Muslimin. Namun, terdapat beberapa perbedaan signifikan diantara mereka. Jumlah pengikut salafi tergolong kecil jika dibandingkan dengan organisasi Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah. Sebagain besar kelompok salafi berbasis pada institusi-institusi dakwah dan pendidikan, seperti Yayasan Al-Sofwah, Yayasan Ihsa At- Turots, dan Al-Haramain Al-Khairiyah. Satu-satunya gerakan salafi yang terbesar dalam sejarah terakhir adalah Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah (FKAWJ) dan kekuatan paramiliternya yang mencolok mata, Laskar jihad (LJ). FKAWJ didirikan pada 1998 oleh kelompok yang teridi dari sekitar 60 guru dan dai terkemuka salafi dan dipimpin oleh seorang veteran perang Afghanistan, Ja’far Umar Thalib.
Hubungan antara salafisme, politik, dan kekerasan (termasuk terorisme) sama kompleknya, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Satu-satunya hal yang pasti dan riil adalah seseorang tidak dapat memasukkan semua kelompok salafi Indonesia memfokuskan diri secara ekslusif pada religiositas dan aktivitas pendidikan serta dakwah yang damai. Seperti salafisme di Timur Tengah, mereka aktif menghindari aktivisme politik. Semenatra banyak kalangan yang tergolong puritan mengembangkan pandangan salafi ortodoks yang berlawanan dengan demokrasi, beberapa salafi Indonesia mengizinkan anggotanya untuk memberikan hak suaranya pada pemilu Indonesia. Namun, beberapa kelompok salafi memilih jalan kekerasan yang menurut mereka dibutuhkan untuk membela masyarakat Islam Indonesia. Dengan demikian, kalangan salafi yang secara keagamaan militan telah turut serta dalam kekerasan sectarian misalnya di Maluku
Seperti halya di Timur Tengah, kelompok-kelompok salafi yang memfokuskan diri pada aksi terorisme yang terorganisasi perlu dipandang sebagai kategori tersendiri (di bawah rubrik salafisme-jihadis) sementara garis pembatas anatara kekerasan sektarian dan terorisme masih sangat kabur. Memang, meskipun fakta berbicara bahwa beberapa kelompok teroris Indonesia—seperti JI—menyebut diri mereka salafi, terdapat perbedaan tajam antara mereka dan kalangan salafi arus utama.
c. Kelompok Jihadi
Maraknya aksi-aksi kekerasan atas nama agama Islam membuat para intelejen asing (AS) melakukan pengawasan ketat terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan umat Islam, mulai dari pemeriksaan terhadap pesantren-pesantren yang ada di Indonesia hingga pembekuan terhadap bantuan dana dari Arab Saudi terhadap instansi/lembaga-lembaga Islam yang ada di Indoesia.
Dalam benak para jurnalis dan pejabat pemerintahan Barat yang bekerja di Indonesia, merebaknya terorisme akhir-akhir ini adalah bukti “efek domino” Islam Timur Tengah ke Nusantara. Pandangan seperti ini mengesampingkan sejarah panjang ekstemisme Muslim berhaluan keras di Indonesia. Dalam kenyataanya, terorisme Indonesia adalah produk interaksi yang kompleks anatara faktror lokal dan eksternal.
Indonesia menyimpan problem terorisme paling serius diantara Negara Asia Tenggara. Negeri ini juga menyimpan teroris Islamis yang terbesar di kawasan ini. Namun, jumlah kelompok teroris (yang berbasis di Indonesia) yang sudah terbukti atau sudah dicurigai terbilang kecil. Yang paling terkemuka diantara mereka adalah Jamaah Islamiyah (JI), namun terdapat beberapa kelompok lokal, seperti wahdah Islamiyah dan Laskar Jundullah, yang sering disangkutpautkan dengan aktivitas terorisme.
JI memulai rencana serius melakukan aksi-aksi teroris sejak 1990-an, target utama mereka adalah tempat-tempat peribadatan dan kependetaan kalangan Kristen. Aksi-aksi ini dimulai dengan beberapa pengeboman gereja di kota Medan, Sumatera, pada Mei 2000. Tiga bulan kemudian, diikuti dengan aksi bom mobil di tempat hunian Duta Besar Filipina di Jakarta, yang menewaskan satu orang saksi mata. Opersai pertama dalam skala besar adalah serangkaian serangan yang terjadi secara bersamaan terhadap 38 Greja di seluruh Indonesia pada malam natal 2000, yang menelan korban 19 orang tewas. Serangan teroris yang paling berdarah adalah aksi pengeboman dua klub malam di Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 nyawa dan melukai 300 orang, serangan selanjutnya bom mobil yang diledakkan di kompleks Hotel J.W. Marriot Jaarta, 5 Agustus 2003 dengan korban 12 orang meninggal. Pengeboman kedutaan Australia di Jakarta pada 9 September 2004 yang menewaskan 12 orang Indonesia.
Tidak diragukan lagi, secara ideologis, ada pengaruh Timur Tengah terhadap JI. Namun, pengaruh tersebut cukup beragam, seperti beragamnya aliran Islamisme radikal Timur Tengah. Dalam dokumen-dokumen JI, figur-figur Timur Tengah—baik kontemporer maupun lampau—memiliki tempat terhormat dalam organisasi ini. Meskipun terdapat fakta bahwa JI menyebut dirinya sebagai gerakan salafi, gagasan-gagasan Quthb tentang jahiliyah dan jihad global secara radikal sangatlah menonjol, khusunya dalam gagasan Abdullah Sungkar. Dia dan Ba’asyir juga menerapkan strategi usrah Ikhwanul Muslimin dalam gerakan tersebut
Namun, dua pakar luar negeri yang paling berpengaruh bagi JI adalah Abdullah Azzam dan Ibn Taimiyah. Dokumen JI sering menyatakan rasa hormat kepada Azzam dan perannya dalam mengonseptualisasi dan memfasilitasi jihad global. Risalah Ibn Taimiyah tentang jihad dan pentingnya melengserkan pengusaa Muslim yang tidak menegakkan hukum Islam juga danggap sebagai dokumen penting bagi JI.
Pengaruh Al-Qaeda juga tampak jelas pada pernyataan dan retorika JI. Sejumlah pakar terorisme menegaskan, JI adalah integral atau subordinat dari al-Qaeda, sedangkan Sidney Jones dari Internasional Crisis Group (ICG) menjelaskan hubungan keduanya sebagai hubunga “timbal balik dan perjuangan pararel” dalam hubungan itu, Sidney lebih lanjut, JI sangat otonom.
Sekalipun elemen-elemen ini menunjuk kepada orientasi internasional JI, menganggap ekstemisme Muslim garis keras seperti di atas sebagai fenomena imfor adalah asumsi yang salah. Sekitar empat puluh tahun sebelum JI, pemberontakan DI merupakan salah satu pemberontakan jihadis besar yang pertama kali terjadi di dunia Islam pada abad ke 20. dengan demikian, pandangan yang menganngap JI sebagai produk murni atau bahkan utama dari pengaruh eksternal, khususnya Timur Tengah adalah pandangan yang menyesatkan. Secara lebih akurat JI bisa dicirikan sebagai produk hibrida (perkawinan silang) dari kekuatan-kekauatan nasional dan Internasional. Organisasi ini ditempa oleh pengalaman histories yang pahit dan mendalam menyangkut Islam radikal di Indonesia, dengan ditunjang oleh kecendrungan jihadis global.

D. Akar Fundamentalisme Islam Indonesia dari Timur Tengah: Sebuah Komentar
Dalam mengomentari bukunya Greg Fealiy dan Anthony Bubalo, ada beberapa yang saya garisbawahi. Pertama, saya setuju bahwa fundamentalisme dan ekstremisme yang terjadi di Indonesia ada pengaruhnya dari radikalisme Timur Tengah, seperti gerakan-gerakan salafi, gerakan kaum jihadis, gerakan tarbiyah yang menerapkan ide-idenya Ikhwanul Muslimin yang akhirnya menbentuk partai keadilan sejahtera (PKS) serta pengaruh-pengaruh dari veretan jihad Afghanistan yang menyebarkan ide-ide tersebut ketika pulang ke Indonesia. Bagi kaum jihadis melakukan jihad untuk menegakkan Islam merupakan kewajiban. Mereka merasa bahwa Islam saat ini sedang berada pada ketrepurukkan. Satu-satunya cara untuk membangkitkan Islam seperti pada zaman kejayaan yaitu dengan menerapkan syariat Islam yang merupakan harga mati.
Sumbangan-sumbangan yang diberikan baik dari kalangan pemerintah, non pemerintaha atau pun donatur dari Timur Tengah, juga ikut andil dalam menyebarkan pengaruh-pengaruhnya, tapi itu semua tidak bisa dipastikan apakah sumbangan tersebut hanya semata-mat demi dakwah Islam semata atau ada motif lain, misalakan penyebaran ide-ide ekstremis, dan itu sulit dibedakan. Yang pasti pengaruh-pengaruh yang melatari adanya gerakan fundamenlatisme Islam di Indonesia yang dianggap dulunya Islam Indonesia yang ramah lingkungan, moderat tiba-tiba menjadi Islam yang garam, anti toleransi, saya kira ada pengaruhnya juga dari Timur tengah, tapi saya mengagngap tidak an sich dari Timur Tengah semata, ada faktor-faktor lain yang juga ikut mempengaruhinya.
Faktor-faktor lain yang ikut memepengaruhi gerakan fundmentalisme di Indonesia, diantaranya factor lokal. Contoh kasus ketika Orde Baru berkuasa, Umat Islam tidak diberi kesempatan dalam berpolitik, politik Islam pada waktu itu dikebiri oleh rezim orde Baru, sehingga dengan demikian banyak dari kalangan kaum muda Muslim yang merasa hak politiknya terkebiri melakukan aksi-aksi anarkistis, titik klimaksnya terjadi pada 1998 ketika krisis moneter melanda Asia, kaum muda muslim membentuk aliansi dengan nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslimin Indonesia (KAMMI) dan akhirnya rezim ORBA pun tumbang.
Kedua, krisis yang terus merejalela ke segala bidang, mulai dari krisis moneter, krisis ekonomi, krisis keimanan dan yang lainnya, menyebabkan keadaan nasional Indonesia mengalami instabilitas yang akhirnya banyak dari kalangan kaum muslim mencarai format baru untuk mencari solusi atas permasalahan bangsa ini. Salah satu solusi dari permasalahan bangsa ini ada yang berpendapat akibat kaum muslim jauh dari ajaran Islam yang sesungguhnya, umat Islam harus kembali menegakkan Islam dengan cara mendirikan Negara Islam yang berpusat pada titik sentral yaitu khilafah Islamiyah. Baginya Negara yang terkotak-kotak seperti sekarang ini dalam bentuk nation state (Negara bangsa) justru malah memperlemah umat Islam itu sendiri. Gerakan yang menyerukan aksi ini salah satunya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Ketiga, faktor reformasi yang memeberikan kebebasan seluas-luasnya juga membuat andil terhadap perkembangan fundamentalisme di Indonesia. Dengan adanya kebebasan yang kebablasan seperti ini, seolah-olah pemerintah—dalam hal ini aparat penegak hukum—kehilangan perannya dalam menegakkan hukum. Dulu ketika Orde baru berkuasa, pemerintah sangat represif terhadap gerakkan-gerakkan yang dianggapnya akan mengacaukan bangsa. Pemerintah terkesan berlebihan, Semua elemen terkooptasi oleh kekuasan sang rezim, mualai dari pemuda di bawah KNPI, dokter di bahwah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), cendikiawan dibawah Ikatan Cendikiwan Muslim Indonesia (ICMI). Pengelompokkan-pengelompokkan tersebut merupakan bagian dari strategi Orde Baru untuk mengkooptasi elemen-elemen tersebut agar mudah dikendalikan.
Akan tetapi setelah reformasi tiba, kran demokrasi dibuka lebar-lebar, maka pemerintah terkesan tidak punya wewenag apa-apa. Banyak organisasi-organisasi, partai-partai politik bermunculan. Mulai dari yang sangat moderat, moderat, cukup moderat, fundamentalis, sampai yang sangat ekstrem sekalipun bermunculan. Secara ideologis, ada yang sekuler, Islamis, nasionalis religius, nasionalis sekuler. Diantara organisasi-organisasi tersebut yang ketika zaman ORBA tidak ada atau pun sudah ada tapi tidak mendapatkan izin dari sang rezim muncul kembali, ambil contoh Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan yang lainnya.
Munculnya organisasi-organisasi tersebut mengakibatkan format pemerintahan berubah total, pemerintah tidak punya kebeebasan seperti zaman Orde Baru, kedaulatan pemerintaha bener-benar ada di tangan rakyat yang mana suatu saat ketika pejabat terbukti melakukan penyelewengan bisa lansung dituntut oleh rakyat sendiri.

E. Penutup
Dari pemaparan di atas dapat saya simpulkan bahwa buku yang ditulis Greg fealy dan Anthony Bulao tentang pengaruh radilakisme Timur Tengah di Indonesia ini baik untuk dibaca oleh kalangan muda Islam sebagai gambaran untuk melaihat bahwa ada pengaruh yang menyebabkan radikalisasi di Indonesia terjadi dari Timur Tengah. Tapi para penulis (Greg fealy dan Anthony bulao) dalam hal ini menekankan bahwa kelompok neo-Fundamentalis dan Islamis Indonesia bersikap selektif dalam menggunakan dan menerapkan gagasan-gagasan Timur Tengah di Indonesia, dalam beberapa tingkatan, proses pribumisasi hamper selalu terjadi. Dalam hal pemikiran Ikhwanul Muslimin, pendekatan terhadap Hasan Al-Banna lebih banyak dimanfaatkan ketimbang gagasan revolusioner Sayyid Quthb dan para penerusnya yang radikal. Alasannya, karena pemikiran Al-Banna dipandang lebih sesuai dengan perpolitikan Indonesia. Secara umum, upaya apapun dalam menimbang pengaruh Timur Tengah terhadap gerakan Islamisme di Indoesia tidak boleh hanya dengan melihat elemen-elemen radilak yang cenderung pada kekerasan atau sektrarianisme yang bersifat memecah belah. Kita harus melihat ide-ide yang memeperkaya kehidupan demokrasi dan menyediakan bentuk ekspresi yang absh bagi perasaan keagamaan. Arus beragam informasi yang merupakan efek samping globalisasi bermakna bahwa pengaruh Timur Tengah akan tetap terasa dalam berbagai cara. Hanya saja hal ini tdak akan menjadi proses yang mulus. Memang, dalam dunia yang mengglobal, arus gagasan Islamis ke Indonesia kurang menjelmakan fungsi pengaruh Timur tengah secara khusus ketimbang proses global berupa adaptasi dan pertukaran intelektual.


Referensi Bacaan:
Greg Fealy dan Anthony Bubalo. Jejak kafilah; Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007

Selasa, 20 Januari 2009

Posting 2

tes tes tes masuk kaga neh tulisan